Dalam
beberapa perjalanan terakhir (kecuali perjalanan ke situs Gunung Padang akhir
Februari ini, di mana rombongan Presiden menumpang rangkaian kereta api reguler
Pangrango), rombongan Presiden selalu ditempatkan di kereta wisata Toraja, di
mana di pintunya terpasang sebuah pagar pembatas kecil dengan logo Garuda.
Presiden SBY melambaikan tangan dari balik pagar pembatas pintu kereta (sumber: grup BBM railfans) |
Tetapi, sekitar hampir tujuh dekade yang lalu, sebuah rangkaian kereta api kepresidenan memegang peranan yang lebih penting daripada sekedar mengangkut orang yang paling berkuasa di Indonesia dalam kunjungan ke luar Ibu Kota. Tapi, sangat disayangkan, catatan sejarah yang saat itu menentukan kelanjutan nasib dari Republik Indonesia yang belum genap setahun merdeka itu, kini sudah terlupakan.
Banyak orang
tentu tahu bahwa pada masa awal kemerdekaan, Ibu Kota Republik Indonesia pernah
dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, setelah Jakarta dikuasai oleh pihak
Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA). Tetapi, jika ditanya bagaimana
cara pemindahan Presiden beserta wakil dan segenap jajaran menterinya ke
Yogyakarta, mungkin hanya sedikit sekali orang yang tahu bahwa Djawatan Kereta
Api Repoeblik Indonesia (DKARI) diperintahkan oleh Presiden Soekarno untuk
menyediakan dua rangkaian KLB Presiden untuk mengangkut rombongan kepresidenan
dari Jakarta ke Yogyakarta.
Dalam
perjalanan yang dimulai pada malam hari tanggal 04 Januari 1946 itu, Presiden
Soekarno tidak menaiki kereta dari Stasiun Gambir disambut oleh pimpinan DKARI
layaknya ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaiki KLB Presiden menuju
Madiun dengan disambut Direktur Utama PT KAI beberapa waktu yang lalu,
melainkan rombongan harus menyelinap secara diam-diam dari kediaman Soekarno di
Pegangsaan Timur 56 menuju rangkaian kereta yang dipersiapkan di jalur kereta
antara Stasiun Beos dengan Stasiun Jatinegara. Tahun 1946, hal tersebut masih
dimungkinkan karena jalur kereta masih berada sebidang dengan permukaan tanah.
Tahun 2014 ini, hal tersebut tidak dimungkinkan lagi karena jalur kereta berada
sekitar 5-10 meter di atas permukaan tanah.
Perjalanan
yang ditempuh rombongan Presiden Soekarno saat itu juga tidak senyaman
perjalanan yang ditempuh rombongan Presiden SBY tempo hari. Agar tidak
diketahui pihak NICA, Presiden saat itu memerintahkan teknisi DKARI untuk
mematikan seluruh lampu penerangan kereta.
Ingin tahu
kisah lengkap dari sejarah kereta kepresidenan ini? Sumber lengkapnya dapat
diakses dalam artikel Kompasiana berikut ini:
Full copas?
ReplyDelete