Sesuai judulnya, kali ini gue bakal ceritain tentang kegiatan hunting foto gue selama tanggal 24 Januari 2013. Semuanya dimulai dari Stasiun Solobalapan. Dari stasiun itu, gue berangkat ke Yogya dengan KRDE Prambanan Ekspres pemberangkatan pertama, pukul 05:30. Akhirnya, untuk kali pertama, gue naik KRD yang mirip dengan KRDE Baraya Geulis di Bandung sewaktu masih menggunakan livery kuning. Bedanya, Prambanan Ekspres tampak lebih bersih, terawat, dan selalu dipenuhi penumpang...
Di perjalanan, gue menikmati sarapan berupa dua
buah roti isi cokelat yang gue beli dari toko roti di samping rumah sore
sebelum keberangkatan dari Bandung. Ketika membuka plastik yang gue bawa, baru
gue inget kalo gue lupa ambil susu kotak yang ada di ransel. Terpaksa, pagi itu
gue nggak minum susu, padahal udah kebiasaan tiap pagi. Ya nggak apa-apa lah,
toh ada aqua botol buat minum. Yang penting gue nggak laper dan nggak haus...
Pagi itu, kereta berangkat terlambat 5 menit, tapi
ajaibnya bisa tiba di Stasiun Tugu tepat pukul 06:49, sesuai dengan yang
tertera di tiket. Bravo! Turun dari kereta, dengan penuh keyakinan gue berjalan
ke sisi selatan stasiun untuk mencari pintu keluar samping. Tapi, gue tidak
menemukan akses satupun. Bertemu dengan seseorang, barulah gue tau kalo akses
keluar berada di peron jalur 4. Terpaksa gue harus berjalan kembali ke peron di
mana gue tadi turun dari kereta. Ketika menyeberang melalui Eksekutif 4 KA
Sancaka yang sudah siap di jalur 2, tidak lupa gue foto interiornya. Lumayan
juga, nuansa birunya menambah sejuknya AC kereta tersebut...
Dari situ, kami memulai perjalanan selama kurang
lebih 30 menit hingga tiba di spot pertama: Kalimenur. Setelah cukup lama hanya
bisa menikmati foto-foto dari teman-teman railfans, akhirnya gue bisa
menginjakkan kaki di spot sejuta umat tersebut, yang kata temen gue “ditambah
kamu jadi sejuta satu”. Finally, finally, tapi tetep aja rasanya masih kurang,
tanah orang udah gue “jajah” tapi tanah sendiri, di Lebakjero, belum gue
“jajah”, padahal di sana udah jadi “sejuta dua”...
Beres memotret Argo Lawu, gue diajak berpindah ke spot berikutnya: Jembatan Kali Progo. Sebelum berangkat, temen gue bertanya dulu apa tidak masalah kalo nggak sempet motret Lodaya, karena masih baru akan mencari akses masuk ke spot di ujung barat jembatan ini. Gue tetep memilih untuk berangkat, apapun risikonya. Saat itu, kami tinggal punya waktu sekitar 20 menit sampai kemunculan Lodaya dari Solo. Keluar ke jalan raya dan tiba di tugu perbatasan Kabupaten Kulon Progo (kalo nggak salah ya), temen gue membelokkan laju motornya memasuki sebuah jalan kecil di samping tugu tersebut. Setelah sempat terkecoh papan penunjuk jalan, akhirnya kami bisa tiba di tempat tujuan dalam waktu 15 menit saja. Hore, berarti Lodaya belum lewat! Tampak pula ada dua orang gadis sedang narsis dekat jembatan kereta. Tapi, sepertinya mereka kelewat lupa tempat ketika sedang narsis. Buktinya, ketika kereta sudah muncul di ujung jembatan, mereka masih saja duduk berpose di rel. Masinis pun harus kembali membunyikan semboyan 35 agar mereka bergeser menjauh dari rel...
Jam menunjukkan pukul 10:40, dan kereta berikutnya baru akan lewat sekitar pukul 12 lewat. Kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu di rumah makan Soto Pak Slamet di daerah Patukan, tidak jauh dari daerah tempat tinggal temen gue ini. Rumah makan yang siang itu ramai pernah dikunjungi chef ternama Indonesia, Pak Bondan Winarno. Tempatnya dekat dengan rel kereta api, walaupun terhalang beberapa pepohonan, tapi kami masih bisa mendengar suara lokomotif yang “seruntulan” dari Rewulu menuju Yogyakarta. Tempat makan tersebut sangat berkesan buat gue. Makanannya maknyus, terjangkau pula. Dan juga suasana tempatnya, mendukung nikmatnya soto yang disajikan. Oh ya, saking hausnya, siang itu gue dan temen gue masing-masing menghabiskan dua gelas es jeruk. Gelas pertama gue teguk abis sebelum sotonya datang, dan gelas kedua, tentunya, sehabis melahap isi mangkuk sotonya. Belum lagi, gue ditraktir oleh temen gue. Padahal, perjanjiannya, seharusnya gue yang traktir dia, tetapi karena satu dan lain hal, akhirnya gue yang ditraktir. Beres makan, kami bergeser ke tempat ini...
Ya, Stasiun Patukan, “markas besar” temen gue.
Tidak jauh dari bangunan utama stasiun, terdapat satu rumah dinas PT KAI yang
udah nggak ditempati lagi, sehingga tampak angker. Belum lagi ditambah
kedatangan “penghuni” berupa replika genderuwo, yang biasa disebut dengan
“ogoh-ogoh”, jadi tampak makin angker. Tapi, siang itu, tampak ada beberapa
bocah asyik bermain dengan “ogoh-ogoh” yang disimpan di sana setelah sebuah
acara di daerah tersebut. Bahkan, mereka sempat mengangkat “ogoh-ogoh” itu dan
membawanya maju-mundur ke arah rel ketika sedang sepi. Sayangnya, siang itu gue
nggak kepikiran untuk memotret aksi para bocah dengan replika genderuwo itu.
Gue hanya terpikir untuk siap-siap memotret rangkaian KA Argo Wilis tujuan
Bandung yang akan lewat...
Setelah penantian beberapa waktu, terdengar sirene
perlintasan kereta api dekat stasiun berbunyi tanda akan ada kereta yang lewat.
Dan di saat yang bersamaan, para bocah sepertinya tau kalo kami akan memotret
kereta yang lewat, dan mereka sedikit mengganggu kami. Tapi untungnya tidak
mengangkat “ogoh-ogoh” tadi dan menghalangi kami, hanya sekedar lompat-lompat
di depan kamera. Ya, dengan sedikit keberuntungan, gue masih bisa mendapatkan
foto rangkaian Argo Wilis ketika akan melewati Stasiun Patukan...
Dan tidak berapa lama setelah kereta lewat, hujan
mulai turun perlahan. Dari stasiun, kami mampir sebentar ke rumah temen gue
yang berada tidak jauh dari stasiun. Ketika berbelok dari jalan utama, hujan
turun lebih deras dari sebelumnya. Beruntung, saat itu kami hampir tiba di
tempat tujuan. Tapi ternyata, hujannya tidak berlangsung lama. Begitu reda,
kami memutuskan kembali melanjutkan perjalanan dengan membawa jas hujan,
mengingat Prameks tujuan Solo berangkat pukul 13:20, dan saat itu waktu
menunjukkan sudah pukul 12:45. Di perjalanan, hujan kembali turun lebih deras
lagi. Tapi, kali ini kami sudah terlindungi jas hujan, untungnya. Lucunya,
ketika memasuki Yogyakarta, suasana di sana kering. Para pengendara motor dari
arah luar kota tampak menggunakan jas hujan, tetapi pengendara dari arah dalam
kota tidak.
Cerahnya langit di Kota Gudeg itu setidaknya
memperbolehkan gue untuk bisa berpose di bawah papan nama Jalan Malioboro. Coba
kalo hujan, udah pasti gue langsung buru-buru masuk ke peron stasiun untuk
berteduh...
Dan di pintu perlintasan berupa pagar yang berada
di sisi timur stasiun, gue berhasil memotret kereta makan bercorak batik Madura
milik KA Sancaka untuk pertama kalinya. Begitu juga dengan temen gue, yang
sayangnya tidak membawa serta kamera miliknya...
Masuk ke halaman depan Stasiun Tugu, di tempat
itulah kami berpisah. Gue berterima kasih untuk kesempatan hunting pagi hingga
siang itu, udah boleh dianterin jauh-jauh ke Kalimenur, Jembatan Progo, Stasiun
Patukan, dan ditraktir makan enak di Soto Pak Slamet. Tapi, sebelum berpisah,
gue masih meminta tolong temen gue untuk memotret gue di depan pintu masuk
Stasiun Tugu...
Selesai berpose, gue berpisah dengan temen gue dan
langsung berlari ke loket Prameks. Waktu menunjukkan pukul 13:15, dan antrian
di loket siang itu sangat panjang. Lima menit yang tersisa tidak cukup untuk
membeli tiket dengan tetap berada di antrian. Beruntung, petugas keamanannya
berbaik hati dan memperbolehkan penumpang yang akan segera berangkat untuk “menyerobot”
barisan langsung menuju loket. Singkat cerita, pemberangkatan kereta ditunda 10
menit hingga dipastikan tidak ada lagi penumpang yang masih mengantri di loket.
Semboyan 40 oleh PPKA, semboyan 41 oleh kondektur, semboyan 35 oleh masinis,
dan kereta pun berangkat dari jalur 2. Selamat tinggal Yogyakarta...
Ini baru bagian pertama, segera dilanjutkan dengan
bagian dua...
No comments:
Post a Comment